Selasa, 18 Oktober 2016

Setelah Google dan Facebook, Selebgram Juga Diincar Pajak

Setelah Google dan Facebook, Selebgram Juga Diincar Pajak

Kamis 13 Oktober 2016 22:15 WIB


JAKARTA - Pemerintah semakin gencar memburu pajak dari industri berbasis Internet, berikut turunannya. Setelah mengincar perusahaan over the top (OTT) seperti Google dan Facebook, sasaran berikutnya adalah pihak-pihak yang mendapat keuntungan atau pendapatan dari Internet, seperti "selebritas Instagram" alias selebgram.
Menurut Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi, pungutan pajak untuk industri Internet memiliki prinsip yang berlaku umum, yakni siapa pun yang mendapatkan penghasilan dari sektor itu akan dikenai pajak. Soal nilai pungutan, kata dia, mengikuti ketentuan umum mengenai pajak penghasilan (PPh). "Ya nilainya normal saja, PPh biasa," kata dia di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, 12 Oktober 2016.

Ken menyebutkan dasar hukum untuk pajak atas selebgram atau orang-orang yang mendulang keuntungan dari internet adalah Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang PPh. Namun dia enggan menjelaskan kapan pajak tersebut mulai dipungut. "Secepatnya," ujar dia. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Khusus, Muhammad Haniv, mengatakan pajak bagi selebgram atau pihak sejenisnya termasuk dalam kriteria transaksi iklan perorangan.
Haniv mengatakan, selain untuk individu, peraturan perpajakan yang ada saat ini memadai untuk mengejar pajak perusahaan OTT seperti Google dan Facebook. Menurut dia, pemeriksaan permulaan pidana pajak untuk Facebook sudah berjalan. Menurut Haniv, kedua perusahaan tersebut telah melanggar Undang-Undang Pajak Penghasilan. "Namun Facebook setidaknya lebih terbuka, ketimbang Google yang menolak diperiksa," kata dia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan komitmen untuk mengejar pajak bisnis berbasis Internet telah menjadi komitmen dunia. Dalam sidang tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) yang dihadiri Sri pekan lalu, seluruh negara anggota sedang merumuskan kebijakan untuk menarik pajak jenis ini. "Kami juga membahas penghindaran pajak online yang bersifat legitimate," kata Sri di kantornya, kemarin. Sri tak menampik adanya kesulitan saat hendak menarik pajak dari industri berbasis Internet. Bahkan, kata dia, belum ada regulasi pajak global soal bisnis ini.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, mengatakan perlu keberanian dan inovasi aparat pajak untuk memungut pajak dari perusahaan OTT maupun individu semacam selebgram. Sebab, kata dia, tak adanya regulasi pajak internasional soal bisnis ini menjadi argumen perusahaan-perusahaan itu untuk menghindari pajak. "Salah-salah bisa kalah dalam pengadilan pajak," ujar dia.

Prastowo mengatakan penegakan hukum tidak akan efektif untuk membangkitkan kesadaran pelaku industri berbasis Internet untuk membayar pajak. Para pengiklan dan obyek iklan perorangan, kata dia, perlu diberikan sosialisasi dan edukasi soal pajak. Adapun pengamat telekomunikasi, Heru Sutadi, mengatakan tren iklan di dunia maya tak bisa lagi dihindari. Dia memprediksi akan muncul tren serupa dengan kemasan baru, seiring dengan kemajuan teknologi.



KORAN TEMPO | ANDI IBNU


Selasa, 04 Oktober 2016

Ini Daftar Konglomerat yang Buka-bukaan Ikut "Tax Amnesty"…

Ini Daftar Konglomerat yang Buka-bukaan Ikut "Tax Amnesty"…

Senin, 3 Oktober 2016 | 12:10 WIB

Lima Jenis Harta Ini Paling Banyak Diungkap Pemohon "Tax Amnesty", Apa Saja?

Lima Jenis Harta Ini Paling Banyak Diungkap Pemohon "Tax Amnesty", Apa Saja?

Selasa, 4 Oktober 2016 | 09:08 WIB

Sebagian warga pendaftar program tax amnesty di kantor Pajak Pratama (KPP) Menteng 2, Gambir, Jakarta Pusat terpantau harus duduk lesehan di lantai pada hari terakhir pendaftaran program tax amnesty, Jumat (30/9/2016).

JAKARTA, KOMPAS.com - Program "tax amnesty" periode pertama sudah selesai. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan melaporkan hasil terakhir pada 30 September 2016 pukul 24.00 WIB, uang tebusan mencapai Rp 97,2 triliun berdasarkan surat setoran pajak (SSP).

"Jumlah deklarasi harta angkanya bisa mencapai Rp 4.500 triliun. Saat ini belum selesai di-entry. Nanti kalau sudah selesai angkanya mendekati Rp 4.500 triliun," kata Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi, Senin malam (3/10/2016).

Ken menyampaikan, dari jenis harta yang diungkap, sebanyak 37,98 persen merupakan harta berupa kas dan setara kas. Harta jenis ini, kata Ken, sangat likuid dan bisa langsung digunakan untuk investasi. Nominalnya mencapai sekitar Rp 1.376,48 triliun.

Harta kedua terbanyak yang diungkap pemohon amnesti pajak yaitu investasi dan surat berharga yang mencapai Rp 1.016,04 triliun atau sekitar 28,03 persen dari total harta yang dideklarasikan. "Ini juga termasuk likuid," kata Ken.

Pada peringkat ketiga, ada tanah, bangunan dan harta tak bergerak lainnya yang jumlahnya mencapai Rp 568,34 triliun atau sekitar 15,68 persen.
Berikutnya di posisi keempat yaitu piutang dan persediaan sebesar Rp 472,39 triliun (13,03 persen).


"Terakhir adalah logam mulia dan barang berharga dan harta gerak lainnya, nominalnya mencapai Rp 141,98 triliun atau sebesar 3,92 persen dari total harta yang dideklarasikan," ungkap Ken.
Dalam kesempatan sama Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita mengatakan, ada juga pengusaha besar yang baru akan ikut tax amnesty pada periode kedua ini.

Sebab, kata dia, dari survei ke beberapa rekan pebisnis ternyata ada yang baru menyelesaikan 70-80 persen harta yang dilaporkan.

"Artinya dalam tiga bulan ini (sampai Desember) mereka masih ada sisa-sisa (harta yang mau dideklarasikan). Mereka akan masukkan (di periode kedua)," kata Suryadi.

Penulis: Estu Suryowati
Editor: Bambang Priyo Jatmiko